Adikku sayang,hidupmu sementara namun kau tetap hidup di hatiku,diantara kisah klasik dengan perjuangan kita selama ini.
Sebelum lanjut bacanya,follow dulu dunk.. tinggal klik aja sini Arif Marzeno
Surat terakhir dari Kakak
Tak
semudah membalikkan telapak tangan. Aku dan Kakakku berjuang untuk
hidup dimasa yang kelam dan susah untuk aku pahami. Dan tak ada sinar
yang mampu menerangi hidupku lagi. Kalau kau bertanya padaku “Mengapa
tak ada sinar?” Aku akan menjawab “Sinar itu sudah hilang bersama embun pagi ini.” Mungkin, Aku akan pergi saja di
dunia ini asal saja orang tuaku tak terucap sebuah pesan yang terakhir,
aku pasti sudah menyayat urat nadi ini. Sebuah rangkaian kata-kata yang
selalu kuingat dan sangat berarti menjadi pedoman untuk hidupku.
“Janganlah engkau menyerah sebelum engkau raih kesuksesan kalian dan
ingat Tuhan pasti akan membantu kalian dalam jalani hidup ini.” Pesan
yang tak akan lekang oleh waktu.
Hidup
terus mengalir dengan diiringi cobaan yang satu demi satu kami lewati
dengan lancar. Tetapi ada cobaan yang sulit kuterima dan rasanya aku tak
kuat untuk menerima cobaan ini, mungkin hanya satu dari banyaknya orang
yang kuat menerima cobaan ini bahkan tak ada satu orang pun yang kuat
menerima cobaan ini. Cobaan ini bermula saat Kakakku masuk perguruan
tinggi dengan beasiswa yang sangat sulit kakakku raih, karena hanya dua
orang yang diterima dengan jalur beasiswa. Mungkin ini bukan cobaan,
tetapi awal dari cobaan itu datang. Hari demi hari, bulan demi bulan,
dan tahun demi tahun aku dan kakakku selalu saling mengerti satu sama
lain. Apalagi saat ini aku sudah kelas XII SMA, empat bulan lagi aku
akan menempuh ujian. Hal yang paling berat untuk saat ini. Aku harus
belajar dan selain itu kami harus saling membantu dalam menopang
kehidupan. Aku tak tega melihat kakakku yang harus menangung itu semua.
Aku bangga memiliki kakak yang sangat perhatian dan selalu menjaga adik
yang menyusahkan dirinya, tetapi perhatian itu sudah sirna bersama
perubahan sikap yang sangat drastis. Kakakku sudah tak peduli denganku
lagi semenjak kakakku masuk semester 3 diuniversitasnya. Tadinya aku tak
menduga dengan perubahan sikap kakakku yang membuatku selalu negative thinking
terhadap kakakku. Setiap kali aku bertanya tentang keadaannya, tak
pernah ada kata yang membuatku pikiranku tenang. Sikap yang paling tak
biasa saat kakakku selalu pulang malam, selalu berpakaian seperti orang
yang tak ada gairah untuk hidup dan kakakku yang mulai terbiasa
menghisap rokok. Aku tak percaya “Hah Kakakku seorang perokok..?” Aku
sangat tak percaya, seperti sebuah mimpi yang rasanya harus kuhilangkan
dalam hidupku ini.
Keanehan
sikap itu semakin terlihat jelas saat aku terbangun mendengar suara
langkah kaki yang sangat tergesa-gesa menuju arah pintu rumah dan suara
itu semakin jelas saat aku melihat kakakku keluar depan rumah dan
pergi bersama motor melalui jendela kamar yang berembun akibat
hujan. Tak percaya aku akan sikap kakak yang pergi tengah malam. Aku
berusaha untuk menghapus pikiran yang seharusnya tak aku pikirkan. Aku
beranjak tidur lagi, karena besok aku sudah mengikuti tambahan pelajaran
atau intensification.
Sebelum sang surya muncul pasti aku sudah bersiap untuk berangkat
sekolah. Aku tak lupa untuk berpamitan dengan Kakakku, takku sangka
Kakakku belum juga pulang. Aku berangkat sekolah dengan langkah kaki
yang berat dan rasa yang tak
percaya. Sambil menenteng tas menuju jalan aku berjalan dengan langkah
yang hampir membuatku celaka. Aku seperti orang yang kehilangan jejak
dan aku hanya termenung, sambil menanyakan kepada hatiku ini “Mengapa?Mengapa?dan Mengapa? Kakakku belum juga pulang.”ucapku dalam hati.
***
Akhirnya
tiba di sekolah, aku segera menuju kelas yang paling kucinta, walaupun
banyak sekali teman yang tak mempedulikan aku, karena aku yang seorang
yang tak memiliki apa, sepatu saja sebenarnya tak layak pakai,
tas sudah berlubang sana-sini. Namun aku tak bersedih karena aku
beruntung mendapatkan beasiswa di sekolah favorite, karena menjuarai
olimpiade fisika di Singapore. Akhirnya waktu pulang tiba, aku bergegas
pulang ke rumah. Aku tak sabar bertemu Kakakku. Dari jam pertama sampai
jam terakhir pelajaran, aku tidak berkonsentrasi saat pelajaran. Aku
selalu memikirkan tentang perubahan sikap Kakakku. Aku sangat khawatir
sekali kepadanya. Mungkin hanya dialah satu-satunya orang yang aku
sayangi, semenjak orang tua kita meninggal. “Huhhhh….lelah, panas , hari
yang tak kusukai…”kataku sambil menenteng tas untuk pulang. Tak sabar
bertemu kakak aku berlari untuk cepat menuju halte untuk segera bertemu
dengannya. “Akhirnya….sampe juga.”kataku sambil membuka pintu rumah.
“Hah kakak belum pulang juga..”kataku lagi. Aku mencoba mencari sesuatu
yang menunjukkan kemana Kakakku pergi di kamarnya. Aku menemukan sebuah
amplop tergeletak dilantai. Belum sempat ku buka amplop itu, Kakakku
sudah pulang dengan menenteng tas plastik hitam yang aku tak tahu isinya
apa . Aku langsung menyembunyikan amplop itu dibelakang bajuku. Kakakku
langsung mengusirku dari kamarnya.
Aku
langsung pergi ke kamarku. Aku tak sabar mengetahui isi amplop itu.
“Apa….?”Aku sangat terkejut seteleh mengetahui isi surat itu. Aku tak
percaya Kakakku memiliki hutang 11 juta. Aku merasa perubahan sikap
Kakakku akibat memikirkan hutang sebesar ini. Tapi Aku tak tahu cara
untuk membantu Kakakku melunasi hutang itu. Tiba-tiba aku mendapatkan
ide, aku bisa membuat kue dan aku titipkan dikantin sekolah. Walaupun,
hasil dari penjualan tak seberapa, tapi setidaknya aku bisa membantu
orang yang aku sayangi. Ada satu hal yang mengganjal dipikiranku.
“Bagaimana aku mendapatkan modal untuk berjualan?” pikir aku. Besok
saja, Aku coba sharing ama kakak. Mudah-mudahan kakak mau menerima ideku. I hope that.
Pagi
yang indah, pagi yang membuatku selalu tersenyum, dan pagi yang selalu
buatku berharap untuk meraih kesuksesan. Aku bersiap untuk berangkat
sekolah. Sekaligus berpamitan pada kakak Aku memulai memberanikan diri
untuk berbicara kakak mengenai perihal tentang ideku untuk berjualan
kue. “Aku harus berani mengatakannya. Demi kakak..!!!” dalam hatiku.
Sebelum aku mengatakannya, kakak sudah menampilkan raut muka yang
membuatku untuk menunda perkaatanku. Tau kan bagaimana rasanya adik yang
diperlakukan seperti itu. Aku langsung pergi sekolah, tanpa berpamitan.
Akhirnya
aku sampai di sekolah. Pelajaran pertama, pelajaran yang paling aku
senangi yaitu Fisika. Walaupun kebanyakan anak tak suka dengan pelajaran
ini tak tahu kenapa aku menyukainya. Mungkin karena gurunya ganteng
plus penjelasannya jelas. Banyak teman sekelas yang iri padaku apabila
aku mendapat nilai bagus dalam mapel ini. Aku menghiraukan perkataan
yang selalu aku dengar apabila akan menerima nilai bagus. Aku tak tau
mereka bersikap begitu dan aku selalu bertanya “Apakah aku salah
mendapatkan nilai bagus?”pikirku. Aku hanya selalu menerima dan menerima
semua perkataan-perkaatan yang menyakitkan hati. “Teng…teng.”Bel pun
berbunyi. Aku segera berlari menuju halte, walaupun kaki sakit akibat
keseleo saat bermain basket “Huh..untung aja bisnya belum
berangkat..?.”ucapku sambil mengusap peluhku yang mengucur disekujur
tubuhku.
“Sampe
deh…”ucapku sambil membuka pintu tua rumahku. “Kakak..kakak…”ucapku
sambil berjalan menuju kamar kakak. Aku menemukan kakak dengan keadaan
mulut mengeluarkan busa putih seperti susu “Kakak…kakak bangun, bangun
kak. Aku gak mau kakak ninggalin aku, aku cuma punya kakak.”ucapku
sambil meeteskan air mata. Aku memanggil ambulance lewat telpon dirumah
tetangga, maaf saja kami tak memiliki telpon rumah.
***
Saat
dirumah sakit, aku tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter. “Itu
tak mungkin, dok. Kakakku belum meninggal kan,dok.”ucapku dengan rasa
tak percaya. Hal yang paling aku tak percaya kakak meninggal akibat
barang-barang itu. Aku tak kuat menahan rasa sedih bercampur dengan rasa tak
percaya. Aku meminta pihak rumah sakit untuk mengurus seluruh keperluan
jenezah Kakakku. Sepulang aku dari pemakamam, aku menuju kamar Kakakku
untuk mengenang sepeninggalan Kakakku. Aku pandangi seluruh bagian kamar
Kakakku dan aku tertuju pada satu buku yang terlihat ada kertas
berwarna putih. Aku menemukan sepucuk surat terselip dibuku itu. Aku
membaca dengan menestakan air mata tanda aku tak menyangka isi surat
itu.
Dear Adikku,
Mungkin
setelah kamu membaca surat ini kakak sudah tak ada disisimu untuk
menjagamu. Sebenarnya kakak tak mau menelan, menghisap,
obat-obatterlarang ini. Tapi apa mau dikat kakak sudah terjerumus dalam
obat ini. Kakak sudah berusaha untuk melepas dari obat ini. Kakak tak
kuat melakukannya. Kakak terlalu sakit untuk meninggalkan obatan ini.
Kakak sudah terlalu banyak memakainya. Dan jadilah kakak seperti ini.
Adikku pasti tak percayakan kakak bisa mengonsumsi obat-obatan ini. Kakak akan ceritakan semuanya. Sebenarnya
kakak mengenal obat ini sejak masuk keperguruan tinggi semester
pertama. Kakak dibujuk teman kakak untuk mecoba obat ini awalnya kakak
tak mau mencobanya dan pada akhirnya kakak terbujuk juga oleh rayuan
teman kakak yang bilang obat ini membuat impian kita menjadi kenyataan.
Memang efek dari obat itu, kakak merasa menjadi orang yang belimpangan
harta, ternyata itu hanya sebuah bayangan semata dipikiran kakak.
Sampai-sampai kakak harus meminjam uang sampai 11 juta untuk membeli
semua itu.
Memang
kakakmu ini tak pantas menjadi kakakmu yang seharusnya memperhatikanmu
dan menjadi contoh yang baik, bukanlah menjadi pecandu narkoba.
Maafkan kakakmu ini yang selalu merepotkanmu selama ini. Dan maafkanlah kakak, karena kakak terlalu bodoh dalam menjadi kakak
Pesan
terakhir untuk adikku tersayang, janganlah pantang menyerah untuk
menjalani hidup dan raihlah cita-citamu setinggi-tingginya dan jangan
pernah kecewakan orang tua kita yang sedang memperhatiakan di surga
sana.
Dari,
Kakakmu.
Surat
terakhir dari kakak yang paling aku sayang dan surat ini akan aku
simpan selamanya. Pesan kakakku ini takkan pernah ku lupa dan akan ku
jalani sesuai dengan amanatnya.
***
Aku
terus jalani hidupku dengan tekad untuk membuktikan kepada orang-orang
yang menyanyangiku bahwa aku bisa membuat mereka bangga dengan hasil
kerja kerasku untuk menjadi orang yang mereka inginkan.
Aku
memulainya dengan giat belajar untuk menghadapi ujian nasional yang
tinggal menghitung hari. Ujian demi ujian aku hadapi dengan semangat.
Aku berharap semua itu akan terbayar ketika aku menerima selembar kertas
yang menyatakan aku ‘LULUS’. Akhirnya, hal yang aku tunggu dating yaitu
sebuah kertas yang menyatakan aku lulus. Aku lulus dengan hasil yang
cukup memuaskan, aku mendapatkan rangking pertama di sekolahanku. Aku
sangat terharu, karena pengorbananku selama ini tak sia-sia. Aku semakin
sedih saat aku tak bisa berbagi kebahagian ini dengan Kakakku dan orang
tuaku.
Rencananya
aku akan melanjutkan disalah satu perguruan tinggi yang sudah aku
pikirkan sebelum aku naik ke kelas XII. Aku melanjutkan ke perguruan
tinggi tanpa membayar untuk masuk kesana. Aku membayar dengan uang
bantuan dari SMA ku. Aku diterima di fakultas sastra yang lumayan banyak
pemintnya. Aku memilih fakultas ini karena aku ingin menjadi seorang
penulis novel yang terkenal dan sekaligus menyalurkan hobiku yang sangat
senang menulis novel.
Tak
terasa sudah memulai untuk menyusun skripsi dan tak lama lagi aku
diwisuda. Aku meyakini bahwa aku bisa menghadapi itu semua. Tak terasa
skripsiku sudah selesai, aku hanya tinggal menunggu sidang yang akan
digelar beberapa hari lagi. Akhirnya, “Semangat, pasti kamu
bisa…!!.”ucapku sendiri. Aku lulus, walaupun belum secara resmi. Aku
harus menunggu sampai 2 minggu untuk melaksnakn wisuda.
Akhirnya
aku lulus dengan predikat yang memuaskan. Walaupun senang karena telah
lulus, tapi perasaan senang itu seharusnya dapat dibagi dengan orang tua
dan juga kakak.
Aku
memulai mencari iklan lowongan pekerjaan di internet. Aku menemukan
lowongan di sebuah kantor redaksi majalah. Setelah menjalani semua tes,
aku diterima. Aku menjalani hari-hariku dengan penuh kebahagian,
walaupun aku tak dapat membagi itu semua dengan keluargaku.
Tak
terasa waktu begitu cepat, novel yang aku tulis sejak duduk dibangku
kuliah, akhirnya selesai dengan tekad yang kuat aku mengirimkan hasil
karya tulisku ke sebuah penerbit. Ternyata novelku layak untuk
diterbitkan. Aku putuskan untuk berhenti sebagai karyawan di redaksi
majalah, karena penerbit ingin aku untuk membuat novel yang lebih
banyak. Semua novel yang aku tulis terinspirasi dari kisah hidupku.
Ternyata pembaca senang sekali dengan novel yang ku buat.
Selain aku mendapatkan cukup uang dari menulis novel untuk menopang hidupku, aku juga dapat membagi kisah-kisah ini dengan pembaca.
Kesedihan
itu bukanlah musibah saja tetapi kita bisa mengubahnya sebagai
anugerah. Janganlah kau berpikir bahwa kesedihan adalah awal dari
kehancuran, padahal kesedihan adalah awal keberhasilan seseorang. Aku
tak akan berlarut- larut dalam kesedihan, karena aku akan membuktikan
bahwa aku tegar dan bisa jalani kehidupan sendirian.